Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Daerah Ku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daerah Ku. Tampilkan semua postingan

Menelusuri Pembentukan Tangerang Barat

| Senin, 26 November 2012
Baca selengkapnya »

Pada Tanggal 10 Juli 2010 mendatang, Tangerang bagian barat akan memulai sebuah babak baru perubahan dengan diadakannya rencana rapat koordinasi tim percepatan Tangerang Barat yang kedua. Rencana pemekaran pada daerah Tangerang Barat sendiri sebenarnya telah ada sejak tahun 2007 yang juga bersamaan dengan usulan pemekaran pada daerah Tangerang Selatan yang telah lebih dulu disahkan sebagai Kota Tangerang Selatan pada tanggal 29 Oktober 2008.
Adapun wilayah yang mencakup dalam pemekaran Tangerang Barat terdiri dari 9 kecamatan, yaitu:
1. Balaraja
2. Cisoka
3. Solear
4. Jayanti
5. Sukamulya
6. Gunung Kaler
7. Mekar Baru
8. Kresek
9. Kronjo
Dalam rapat yang berlokasi di Kp. Cengkok-Sentul Rumah Bpk H.Ardiwinata (Alm) tersebut dihadiri pula oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti Suherman Kumis, Durahman, KH. Djasmaryadi, H. Saepul Rizal,Kosasih, Dwi Mulyono, Gilang Sumiarsa, dkk. Sedangkan yang menjadi motor penggeraknya ialah Isbandi sebagai ketua Tim Percepatan Pemekaran Kab. Tangerang Barat atau di singkat TP2TB.
Tujuan diadakan rapat adalah untuk membahas Persiapan Deklarasi Tim Percepatan Tanggal 25 Juli 2010 dan Pematangan Tim. Semoga dengan adanya pembentukan percepatan pemekaran Tangerang Barat ini dapat memberikan hembusan angin dan harapan baru khususnya bagi warga yang berada di wilayah Tangerang Barat.

Menelusuri Pembentukan Tangerang Barat

Posted by : Unknown on :Senin, 26 November 2012 With 0komentar
Tag :

Sejarah Banten Era Kesultanan Banten

|
Baca selengkapnya »

Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513. Proses Islamisasi Banten, yang diawali oleh Sunan Ampel, yang kemudian diteruskan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang seluruh kisahnya terekam dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Fase sejarah penting menguatnya pengaruh Islam terjadi ketika Bupati Banten menikahkan adiknya, yang beernama Nyai Kawunganten, dengan Syarif Hidayatullah yang kemudian melahirkan dua anak yang diberi nama Ratu Wulung Ayu dan Hasanuddin sebagai cikal bakal dimulainya fase sejarah Banten sebagai Kerajaan Islam (Djajadiningrat, 1983:161). Bersama putranya inilah Sunan Gunung Jati melebarkan pengaruh dalam menyebarluaskan agama Islam ke seluruh tatar Sunda hingga saatnya Sang Wali kembali ke Cirebon . Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai kerajaan Islam dengan dipindahkannya pusat pemerintahan Banten dari daerah pedalaman ke daerah pesisir pada tanggal 1 Muharam tahun 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Michrob dan Chudari, 1993:61). Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi istana, benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan (Pudjiastuti,2000:61). Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggirankota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung (Djajadiningrat,1983:84). Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda (Ekadjati (ed.),1984:97). Wujud dari interaksi budaya dan keterbukaan masyarakat Banten tempo dulu dapat dilihat dari berkembangnya perkampungan penduduk yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti Melayu, Ternate, Banjar, Banda, Bugis, Makassar, dan dari jawa sendiri serta berbagai bangsa dari luar Nusantara seperti Pegu (Birma), Siam, Parsi, Arab, Turki, Bengali,dan Cina (Leur, 1960:133-134; Tjiptoatmodjo, 1983:64). Setidaknya inilah fakta sejarah yang turut memberikan kontribusi bagi kebesaran dan kejayaan Banten. Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama (1522-1570), menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan dengan lada sebagai komoditas utama yang diambil dari daerah Banten sendiri serta daerah lain di wilayah kekuasaan Banten, yaitu Jayakarta, Lampung, dan terjauh yaitu dari Bengkulu (Tjandrasasmita,1975:323). Perluasan pengaruh juga menjadi perhatian Sultan Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuahn lain. Sunda Kalapa sebagai salah satu pelabuhan terbesar berhasil ditaklukkan pada tahun 1527 dan takluknya Sunda Kalapa tersebut ditandai dengan penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Dengan takluknya Jayakarta, Banten memegang peranan strategis dalam perdagangan lada yang sekaligus menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme dalam usahanya menjalin kerjasama dengan Raja Sunda (Kartodirdjo, 1992:33-34). Pasca wafatnya Maulana Hasanuddin, pemerintahan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf (1570-1580), putra pertamanya dari Ratu Ayu Kirana, putri Sultan Demak. Kemasyhuran Banten makin meluas ketika politik ekspansinya berhasil pula menaklukkan Pakuan Pajajaran yang dibantu oleh Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya benar-benar runtuh (Atha, 1986:151-152,189). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau (buatan) Tasikardi merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota , sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di sekitar kota . Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih merupakan bukti majunya teknologi pengelolaan air pada masa tersebut. Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emporium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan (Michrob dan Chudari, 1993:82-83). Tumbuh dan berkembangnya pemukiman-pemukiman pendatang dari mancanegara terjadi pada masa ini. Kampung Pekojan umpamanya untuk para pedagang Arab, Gujarat , Mesir, dan Turki, yang terletak di sebelah barat Pasar Karangantu. Kampung Pecinan untuk para pedagang Cina, yang terletak di sebelah barat Masjid Agung Banten. Masa kejayaan Banten selanjutnya diteruskan oleh Maulana Muhammad pasca mangkatnya Maulana Yusuf pada tahun 1580. Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Kesejahteraan masjid dan kualitas kehidupan keberagamaan sangat mewarnai masa pemerintahannya walaupun tak berlangsung lama karena kematiannya yang tragis dalam perang di Pelembang pada tahun 1596 dalam usia sangat muda, sekitar 25 tahun. Pasca mangkatnya Maulana Muhammad, Banten mengalami masa deklinasi ketika konflik dan perang saudara mewarnai keluarga kerajaan khususnya selama masa perwalian Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan ketika ayahandanya wafat. Puncak perang saudara bermuara pada peristiwa Pailir, dan setelahnya Banten mulai kembali menata diri. Dengan berakhirnya masa perwalian Sultan Muda pada bulan Januari 1624, maka Sultan Abul Mufakir Mahmud Abdul Kadir diangkat sebagai Sultan Banten (1596-1651). Sultan yang baru ini dikenal sebagai orang yang arif bijaksana dan banyak memperhatikan kepentingan rakyatnya. Bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat mendapat perhatian utama dari Sultan Banten ini. Ia berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Dialah penguasa Banten pertama yang mendapat gelar Sultan dari penguasa Arab di Mekah (1636). Sultan Abdul Mufakhir bersikap tegas terhadap siapa pun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten (Ekadjati (ed.), 1984:97-98). Dan akibat kebijakannya ini praktis masa pemerintahannya diwarnai oleh ketegangan hingga blokade perdagangan oleh VOC terhadap Banten. Konflik antara Banten dengan Belanda semakin tajam ketika VOC memperoleh tempat kedudukan di Batavia . Persaingan dagang dengan Banten tak pernah berkesudahan. VOC mengadakan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten, melarang dan mencegah jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten yang membuat pelabuhan Banten hampir lumpuh. Perlawanan sengit orang Banten terhadap VOC pecah pada bulan November 1633 dengan mengadakan gerilya di laut sebagai perompak dan di daratan sebagai perampok sehingga memprovokasi VOC untuk melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, dan Lampung. Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi perang terus berlangsung selama enam tahun, dan ketegangan masih terus terjadi hingga wafatnya Sultan Abul Mufakhir pada tahun 1651 dan digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Maali Ahmad atau Pangeran Ratu Ing Banten atau Sultan Abufath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Sultan Ageng Tirtayasa yang ahli strategi perang berhasil membina mental para prajurit Banten dengan cara mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, Makassar, dan daerah lainnya. Perhatiannya yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam juga mendorong pesatnya kemajuan Agama Islam selama pemerintahannya. Pelabuhan Banten yang semula diblokade VOC perlahan namun pasti mulai pulih ketika Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis yang notabene merupakan pesaing berat VOC. Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan perdagangan Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi persaingan perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa. Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa gigih berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17. Selain itu, juga untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten (Kartodirdjo, 1988:113-115,150-154,204-209). VOC yang mulai terancam oleh pengaruh Sultan Ageng Tirtayasa yang makin luas pada tahun 1655 mengusulkan kepada Sultan Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10 tahun dibuat oleh kakeknya pada tahun 1645. Akan tetapi, Sultan dengan tegas bersikap tidak merasa pelu memperbaruinya selama pihak Kompeni ingin menang sendiri. Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat saluran air untuk kepentingan irigasi sekaligus memudahkan transportasi dalam peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan rakyat serta untuk kepentingan logistik jika mengadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116). Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedaganga asing dari Persia, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat, dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kejayaannya, di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya yang sangat disegani, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia (Ekadjati (ed.), 1984:98). Puncak konflik antara Banten dengan VOC terjadi setelah Perjanjian Amangurat II dengan VOC membawa pengaruh politik yang besar terhadap Kesultanan Banten, dan setelah pemberontakan Trunojoyo dapat dipadamkan, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan dengan VOC (Wangania, 1995:44). Pada saat yang bersamaan Kesultanan Banten mengalami perpecahan dari dalam. Putra mahkota, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar, yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Purbaya.Pemisahan urusan pemerintahan ini dimanfaatkan VOC untuk mendekati dan menghasut Sultan Haji guna melawan ayahandanya. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surasowan yang kemudian berada di bawah antara ayah dan anak setahun lamanya hingga Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap akibat pengkhianatan putranya sendiri, Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692 dan kemudian dimakamkan di Kompleks Mesjid Agung Banten (Ekadjati, 1995:101-102; Ensiklopedi Sunda, 2000:661; Wangania, 1995:45). Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684 antara Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, dengan Belanda yang diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa melayu Wan Abdul Bagus, maka lenyaplah kejayaan dan kemajuan Kesultanan Banten, karena ditelan monopoli dan penjajahan Kompeni, akibat perjanjian ini Kesultanan Banten diambang keruntuhan. Selangkah demi selangkah Kompeni mulai menguasai Kesultanan Banten. Benteng Kompeni mulai didirikan pada tahun 1684-1685 di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan, dan benteng ini dirancang oleh seorang arsitektur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan yang bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Benteng yang didirikan itu diberi nama Speelwijk, untuk memperingati kepada Gubernur Jenderal Speelma. Dengan demikian, praktis Banten sebagai pusat kekuasaan dan kesultanan telah pudar. Demikian pula peran Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa telah tertutup. Tidak ada lagi kebebasan melaksanakan perdagangan (Tjandrasasmita, 1995:118) Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi, selain karena sultan harus membayar biaya perang, juga karena monopoli perdagangan Kompeni. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya, terutama lada dan cengkeh, kepada Kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk, dengan harga yang sangat rendah. Raja seolah-olah hanya sebagai pegawai Kompeni dalam hal pengumpulan lada dari rakyat. Pedagang-pedagang Inggris, Francis, dan Denmark, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir dari Banten. Kerusuhan demi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang bergejolak selama pemerintahan Sultan Haji. Perampokan dan pembunuhan terhadap para pedagang dan patroli Kompeni, baik di luar kota maupun di dalam kota, kerap terjadi dimana-mana. Bahkan pernah terjadi pembakaran yang mengabiskan 2/3 bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun terjadi di lautan, banyak kapal Kompeni yang dibajak oleh bajak negara yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui Sultan Haji sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu berada dalam kegelisahan dan ketakutan. Bagaimanapun penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat, dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada. Akan tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, akhirnya menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakamam Sedakingkin sebelah utara Mesjid Agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (Ismail, 1983:7; Tjandrasasmita, 1967:46; Michrob dan Chudari, 1993:164). Pasca peristiwa tersebut, Banten memasuki fase sejarah sebagai bagian dari daerah koloni Belanda. Dan perlawanan-perlawanan sporadis menjadi warna yang kental pada masa pemerintahan berikutnya yang praktis tak berdaulat sebagai sebuah negara sebagaimana pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang telah berhasil membangun negara modern yang berdaulat. Sunber:http://www.bantenprov.go.id/index.php

Sejarah Banten Era Kesultanan Banten

Posted by : Unknown on : With 0komentar
Tag :

Alternatif jalan raya Serpong

| Minggu, 22 Januari 2012
Baca selengkapnya »
Sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta, Tangerang beserta Depok, Bogor dan Bekasi menjadi rumah bagi mereka yang bekerja di Jakarta. Tidak heran apabila perumahan di Tangerang terus berkembang. Salah satu daerah yang yang berkembang pesat sebagai daerah perumahan adalah daerah Serpong, Tangsel. Dimulai dengan BSD (Bumi Serpong Damai) kemudian bermunculan komplek-komplek perumahan yang lain.

Penambahan hunian tersebut berarti bertambah pula jumlah penduduk yang berarti bertambah pula jumlah kendaraan yang ada. Namun biasanya sarana jalan tidak ikut bertambah. Tidak heran apabila jalan raya Serpong menjadi macet setiap jam berangkat kerja dan pulang kerja.

Permasalahan kemacetan ini ternyata menjadi perhatian juga dari pengembang perumahan. Khususnya pengembang perumahan BSD dan Gading Serpong. Sekarang sudah dibangun sebuah jalan baru yang menghubungkan kedua kompleks perumahan tersebut. Jalan baru tersebut menghubungkan BSD, tepatnya dari cluster Foresta ke Gading Serpong ( Komplek Paramount/Sumarrecon).

Saat saya lewat kemarin, jalan sudah jadi, terbentang jalan yang lumayan lebar, dua jalur dengan pembatas jalan di tengah. Namun jalan ini masih membutuhkan beberapa pembenahan. Oleh karena itu dipasanglah beberapa barikade jalan, walhasil hanya sepeda motor yang dapat dengan bebas berlalu lalang.

Bagi saya pembangunan jalan ini menggembirakan, karena bisa sebagai jalur alternatif dari jalan raya Serpong yang biasanya macet. Dari Kota Tangerang, khususnya wilayah Karawaci akan lebih nyaman lewat jalan ini, daripada harus masuk ke jalan raya Serpong.

Disisi yang lain, pembangunan jalan ini juga mengherankan bagi saya. Di tengah ketidak mampuan pemerintah untuk menambah ruas jalan untuk mengurangi kemacetan. Ternyata pihak swasta dalam hal ini developer dapat membangun jalan yang lebar. Disaat pemerintah susah untuk membebaskan lahan untuk jalan baru, ternyata pihak swasta bisa menguasai lahan yang sedemikian luas.

Anyway, berikut lintasan jalan baru tersebut dan beberapa foto-fotonya (maaf resolusi kecil, maklum pakai HP ) :)

Rute jalan baru, tracking menggunakan endo mondo


Jalan baru dengan 2 lajur

Bunderan

Tapal batas komplek

Sumber : Blogger Benteng

Alternatif jalan raya Serpong

Posted by : Unknown on :Minggu, 22 Januari 2012 With 0komentar
Tag :

Sejarahnya Benteng Makasar: Asal-usul Tangerang sebagai Kota Benteng

|
Baca selengkapnya »
Untuk mengungkapkan asal-usul Tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC, resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5.000 sampai 6.000 penduduk.

Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat “Radin Sena Patij dan Keaij Daman” sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.

Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah ”Keaij Dipattij Soera Dielaga”. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.

Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasukan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satiu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: ”Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni.”

Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.

Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Diasan akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makassra yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan ”Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut ”Superintendant of Publik Building and Workd” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: ”…Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya.”

Sumber: www.tangerangkota.go.id

MUI Galakkan Sertifikat Halal bagi Pebisnis

|
Baca selengkapnya »

Majelis Ulama Indonesia(MUI) Kota Tangerang terus menggalakkan akan label halal kepada para pebisnis di Kota Tangerang khsususnya para pengusaha kuliner. Setelah dilakukan pengkajian lebih mendalam, maka MUI Kota Tangerang akan mengeluarkan sertifikat halal.

Sertifikat halal ini terus disosialisasikan dan digalakkan agar masyarakat Kota Tangerang mengatahui betapa pentingnya sertifikat halal ini. Menurut Sekretaris MUI Kota Tangerang, Chaerudin bahwa sertifikat halal ini diperuntukkan bagi masyatakat(pebisnis) Kota Tangerang.

"Sertifikat halal sangat penting demi kelangsungan bisnis mulai dari kuliner hingga berbagai macam produk. MUI Kota Tangerang melalui tim dari fatwa akan melakukan pengkajian secara detail akan sebuah usaha yang dilakukan oleh masyarakat," tandasnya.

Dikatakan Chaedurin, tim fatwa ini meliputi MUI Kota Tangerang yang melibatkan Dinas Kesehatan Kota Tangerang untuk melakukan pengkajian lebih mendalam. "Kapan saja dan dimana saja, kami akan melayani masyarat yang ingin mendapatkan sertifikat halal dari MUI," tandasnya.

Sumber : Kota Tangerang

MUI Galakkan Sertifikat Halal bagi Pebisnis

Posted by : Unknown on : With 0komentar
Tag :

Tari Cokek Khas Tangerang

| Kamis, 05 Januari 2012
Baca selengkapnya »

Geal geol penari wanita begitu elok, gerakan tangan yang lentur serta kibasan selendang semakin menambah koreografi yang menarik, disamping penari perempun gerakan mencak silat penari laki laki dengan gerakan kaki yang menggejik lantai begitu keras, bergantian berputar dan berpandangan, iringan musik khas tradisional terdengar sontar.

Tari cokek namanya, tarian tradisional dari daerah Tangerang provinsi Banten, orang tangerang mengenal Cokek sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan pertama kali sekitar abad ke-19.

gallery budaya

Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan tanah Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. saat itu, para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya.

Tarian yang cukup sulit untuk di gerakan bagi saya, saya mengenal tarian ini langsung dari pelatih tari senior Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) tahun 2010 lalu, sayangnya dokumentasi tersebut hilang termakan virus komputer.

Program PPAP yang mengharuskan peserta yang lolos bisa menarikan tari cokek dan pencak silat di depan juri utama saat sleksi akhir di Provinsi Banten, sudah tak lagi malu melakukannya, demi gelar duta budaya yang akan saya sandang.

Salah satu alat musik yang dibawa dalam tari cokek yakni Rebab Dua Dawai. Dalam sejarahnya Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.

Lantunan nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek si tuan tanah pada masanya menghadirkan beberapa orang wanita.

Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek.

Awalnya tari cokek dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang laki laki sebagai pemain musik dan sebagian ikut mengiringi tarian wanita. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sorotan lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu.

Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang yang mengikat di pinggang penari perempuan.

Berdasarkan cerita senior saya saat itu, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan atau hajatan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.

Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari perempuan yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama.

Semakin berkembangnya jaman, tari cokek ini dinilai tarian yang esotis dan terkesan pornoaksi lantaran tarian wanita yang berlengggak lenggok dengan goyangannya bersama laki laki, dan saat ini gerakan tari cokek banyak yang di perbaiki dan di gabungkan dengan beberapa gerakan tari modrn yang lebih dinamis.

Khusus penari cokek laki laki kebanyakan menggunakan gerakan tangan dan gerakan mencak silat. Sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan langsung dari penari asli tari cokek tangerang. Dan banyak pula remaja tangerang yang tak mengenal bahwa tangerang memiliki tarian khas yang tidak kalah dengan daerah lain.

Sumber Blogger Benteng

Tari Cokek Khas Tangerang

Posted by : Unknown on :Kamis, 05 Januari 2012 With 0komentar

Sejarah Tigaraksa dan Cerita Rakyat

| Rabu, 04 Januari 2012
Baca selengkapnya »

Apa yang ada dalam benak jika kita mendengar nama “Tigaraksa” yang jelas bukan nama sebuah perusahaan tentunya. Tigaraksa adalah nama sebuah kecamatan yang sekarang telah berkembang menjadi pusat pemerintahan di tingkat kabupaten tangerang. Ya, boleh di bilang ibukotanya kabupaten tangerang. Apa keistimewaannya sehingga sebuah kecamatan yang bernama tigaraksa ini menjadi salah satu pilar di tangerang, ini tidak lain adalah karena adanya keterkaitan dengan asal mula berdirinya tangerang itu sendiri. Berhubung banyak versi berbeda yang berkembang di masyarakat mari kita kupas satu-satu.

Versi sejarah:

Nama Tigaraksa sendiri tercipta dari asal muasal di utusnya 3 utusan pada masa kerajaan / kesultanan banten. Yang kala itu negara kita masih dalam penjajahan belanda. 3 utusan tersebut ialah Aria Yudanegara, Aria Wangsakerta dan Aria Santika. Adapun tugas utama dari ke-3 utusan ini ialah untuk membuat basis-basis pertahanan dari serangan musuh, yang menjadi cikal bakal nama Tigaraksa yaitu tigaraksasa = tiangtiga sebagai kehormatan untuk mengenang para 3 Aria utusan dari kesultanan Banten tersebut. Beberapa nama dari utusan itupun di jadikan nama sebuah jalan yang menghubungkan antara balaraja (tempat bertemunya para raja) dengan Tigaraksa yaitu Jl. Raya Aria Jaya Santika dan Jl. Aria Wangsakara.

Wilayah basis pertahanan ini di jadikan tempat perkampungan dan tempat pemerintahan. Beberapa penduduk perkampungan dari arah timur banyak yang mengungsi kedaerah tersebut untuk menghindari serangan belanda. Lambat laun belanda pun akhirnya dapat menumbangkan pemerintahan dari ketiga Aria tersebut dan pada saat yang bersamaan pula di bangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane oleh Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu prasasti tersebut oleh masyarakat biasa di sebut “Tanggeran” yang pada akhirnya di kenal sebagai Tangerang. (sumber: tangerangkab.go.id, wikimu.com dan kecamatantigaraksa.com )

Versi Cerita Rakyat:

Lain halnya dengan yang berkembang di masyarakat. Ternyata ada versi lain di balik cerita tentang Tigaraksa. Bahwa nama Tigaraksa itu telah ada sebelum datangnya para utusan kesultanan Banten yaitu cerita di balik 3 tokoh penyebaran islam. Ki Mas Laeng, Ki Seteng dan Syeh Mubarok.

Dahulu kala ada 2 kesatria yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka masih memeluk agama hindu yaitu Ki Mas Laeng dan Ki Seteng. Mereka berdua saling bermusuhan hingga akhirnya memutuskan untuk beradu ilmu kesaktiannya untuk menentukan siapa yang paling kuat.

Di antara pertempuran antara hidup dan mati tersebut tanpa sengaja datanglah seorang ulama bernama Syeh Mubarok yang berasal dari negara timur tengah di mana saat itu di sedang melakukan perjalanan; Nama Syeh Mubarok sendiri di berikan oleh penduduk di masa kemudian tempat di mana dia menetap dan menghabiskan sisa hidupnya.

Kembali pada pertempuran, akhirnya Syeh Mubarok memisahkan pertempuran adu ilmu tersebut. Dengan kearifan sang syeh kedua kesatria itupun memeluk islam hingga meneteskan air mata dan memutuskan untuk menjadi murid . Tempat bertemunya ke 3 tokoh itu sekarang di sebut Cisoka dalam bahasa sunda Ci Soca yang berarti air mata. Maka 2 murid beserta sang Syeh mulai menyebarkan agama islam. Adapun nama dari 2 kesatria di jadikan salah satu nama jalan di daerah Tigaraksa dan Syeh Mubarok sendiri, di makamkan di Kp. Kelapa Dua. wallahualam ( sumber dari beberapa warga pribumi )

Kesimpulan: Sebuah nama dari suatu daerah atau suatu tempat. semuanya tidak luput dari sejarah awal muasalnya. Tujuan utama nama itu sendiri ialah untuk mengenang dan juga sebagai penghormatan bagi para tokoh di masa lalu. Adapun tugas kita sekarang ialah meneruskan semangat dan cita-cita mereka walaupun mungkin cerita yang ada memiliki versi yang berbeda-beda.


Sumber : Komunitas Blogger Benteng

Sejarah Tigaraksa dan Cerita Rakyat

Posted by : Unknown on :Rabu, 04 Januari 2012 With 0komentar
Prev
▲Top▲